“….karena cinta kuat seperti maut,
kegairahan gigih seperti dunia orang mati,
nyalanya adalah nyala api TUHAN!,
air yang banyak tak dapat memadamkan cinta.”
~Kidung Agung 8:6-7
I. Pengantar
Kerapkali
dilontarkan pernyataan bahwa cinta pada hakikatnya merupakan sesuatu yang
subtil dan menembus batas. Dikatakan subtil (halus/tak kentara) karena memang
misterius. Tak ada seorangpun yang mampu secara pasti memahami mengapa,
bagaimana dan kapankah cinta datang, bersemi serta menghangatkan sanubari.
Agaknya dari situ lantas jamak dipopulerkan idiom “jatuh cinta,” mengingat
kehadiran cinta yang tiba-tiba, layaknya seseorang yang tiba-tiba terpelanting
dan jatuh. Dan dikatakan menembus batas karena memang itulah keniscayaan cinta.
Semua bangunan tembok pemisah yang direka oleh manusia seperti ras, adat, suku,
budaya, bahasa, aturan main, ideologi dan agama, pada kenyataannya tak dapat
membendung nyala cinta. Karena nyalanya adalah nyala api TUHAN! –demikian sabda
Kidung Agung.
Begitu sepasang anak manusia terhisap dalam pusaran cinta, maka
secara substantive sejatinya tiada yang dapat menghalangi kesatuannya. Dan
kalaupun toh dipaksa untuk berpisah, maka tentu akan segera bermunculan
kisah-kisah baru; kisah cinta berlatar tragedi sejenis Romeo and Juliet ataupun
Siti Nurbaya. Karenanya tak berlebihan jika kitab Kidung Agung di dalam
Perjanjian Lama memberikan apresiasi yang sangat mendalam akan keagungan cinta:
“Begitu cinta membara, maka sungai-sungai tak dapat memadamkan serta
menghanyutkannya.”
Dengan demikian cinta pada hakikatnya merupakan sesuatu yang
sacred, sakral. Bersumber dari kedalaman Kasih Sang Khalik sendiri.
Bahwa dalam perjalanannya cinta menjadi tidak lagi sakral dan
tercemari oleh banyak pengaruh profan yang bersumber dari kedagingan manusia,
sehingga pijar cinta memudar atau malah musnah, maka itu perkara lain. Namun
penghargaan terhadap cinta adalah sesuatu yang mutlak.
Maka dalam rangka menopang dan mengupayakan struktur pendukung
bagi keberadaan cinta, institusi perkawinan pun lantas hadir serta mengemuka.
Dan mereka yang hendak melangsungkan perkawinan pada prinsipnya tak boleh
dihalang-halangi. Seorang penjahat yang paling sadis pun diperkenankan, dijamin
atas nama cinta dan Hak Azasi Manusia, tidak boleh dilarang jika meminta
melangsungkan perkawinan. Konsekuensinya, hal yang sama juga idealnya
diberlakukan bagi sepasang anak manusia yang berbeda agama….Kawin beda agama,
mengapa tidak ?
II. Kawin beda agama (campur) dalam Alkitab
Jika mencermati kisah-kisah perkawinan dalam Perjanjian Lama,
maka terdapat penolakan, atau dengan kata lain, kata TIDAK atas frase kawin
beda agama.
(Lihat kisah Ulangan. 7:1-11; Keluaran. 34:12-16; Maleakhi.
2:10-15; Ezra. 2:59-62; Nehemia. 7:61-64; 13:23-29.) Sebagaimana penelusuran
kawan saya, Pdt Andri Purnawan, penolakan tersebut dilatarbelakangi pemahaman
bahwa tatkala perkawinan beda agama dilakukan maka umat Yahweh yang secara
kuantitas jumlahnya jauh lebih kecil daripada umat/bangsa lain yang berbeda
agama akan terancam luntur.
Atas dasar kekuatiran lenyapnya Yahwehisme, demi alasan
mengamankan identitas, serta konservasi jumlah penganut iman yang sedikit, maka
munculah pelarangan dan penolakan terhadap kawin beda agama/beda suku. Umat
Yahweh hanya boleh kawin dengan sesama umat Yahweh, tidak boleh kawin dengan
goyim/yang bukan umat Yahweh.
Namun berdasar penelusuran Pdt Andri Purnawan, tak dapat
dipungkiri pula bahwa kenyataan dari perjumpaan dengan peradaban dan suku
bangsa lain yang beragam, menjadikan kawin beda agama sebagai realitas yang tak
terhindarkan. Andri mencatat bahwa, bahkan “tokoh-tokoh besar” Israel pun
mengalaminya, seperti diperlihatkan dalam :
§ Kej. 38 :1-2
(Yehuda kawin dengan Syua,wanita Kanaan)
§ Kej. 46: 10 (Simeon
kawin dengan wanita Kanaan)
§ Kej. 41:45 (Yusuf
kawin dengan Asnat, anak Potifera, imam di On-Mesir)
§ Kej. 26:34 (Esau
dengan Yudit, anak Beeri orang Het)
§ Bil. 12:1 (Musa –
sang pemimpin Israel – kawin dengan seorang perempuan Kusy)
Bahkan dalam konteks tertentu malah diijinkan. Sebagaimana
terdapat dalam Ulangan 21:10-14. yang merupakan rangkaian dari perikop yang
berbicara mengenai hukum perang yang ditetapkan bagi orang Israel (lihat Ul. 20
– 21 :14). Andri mengungkapkan bahwa pada bagian ini dengan gamblang diatur
apabila Israel menang perang, menawan musuh dan diantaranya ada para perempuan
yang menarik, maka perempuan itu harus diperlakukan secara manusiawi, dihormati
hak-haknya.Lalu “sesudah itu bolehlah engkau menghampiri dia dan menjadi
suaminya, sehingga ia menjadi istrimu.” Dalam konteks ini perkawinan dengan
perempuan non-Israel/yang beragama lain diijinkan supaya umat tidak terjatuh
pada dosa kejahatan perang, dalam hal perlakuan biadab terhadap para perempuan
tawanan perang.
Dalam Perjanjian Baru (PB).
Andri Purnawan di dalam penelusurannya atas Perjanjian Baru mencatat penggunaan
teks 2 Kor. 6:14 yang berbunyi “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak
seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat
antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan
gelap?” yang merupakan teks favorit, yang paling sering dikutip untuk
melegitimasi pelarangan melakukan perkawinan dengan orang yang berbeda agama.
Namun jika menilik konteksnya, Andri menerangkan bahwa sejatinya
ayat itu tidak ditujukan untuk melarang atau mendukung seorang
Kristen menikah dengan orang non-Kristen, melainkan lebih ditujukan bagi mereka
yang baru saja bertobat namun pasangannya masih memeluk kepercayaan yang lama.
Tujuannya jelas, yakni agar orang-orang Kristen/petobat baru, benar-benar
menerapkan kekudusan dalam hidupnya dan tidak lagi terjatuh dalam kehidupan
cemar yang masih menjadi gaya hidup pasangannya. Mereka dipanggil untuk
menularkan positive influence bagi pasangannya yang belum percaya. Paulus tetap
melarang orang-orang Kristen menceraikan pasangannya yang berbeda iman, kecuali
pasangannya yang menginginkan (lihat : I Kor. 7:12-16, I Petrus 3:1-7).
Maka dengan demikian, berdasarkan penelusuran Andri diatas,
dapat diketengahkan pokok baru tentang kesucian.
Di dalam Yudaisme berkembang hukum halal-haram. Apabila yang suci bertemu
dengan yang cemar, maka yang suci dikalahkan oleh yang cemar, oleh yang najis.
Dari situ kemudian berkembang konsep separasi radikal yang memisahkan secara
dikotomis antara -mereka yang suci-dengan-mereka yang najis.
Namun di dalam Perjanjian Baru konsep itu dirombak.
Yang suci tidak perlu bercerai dengan yang cemar. Umat tebusan
tidak perlu memisahkan diri dari umat yang bukan tebusan. Karena bukan hanya
yang najis/cemar saja yang dapat mempengaruhi. Yang suci pun juga mampu untuk
mempengaruhi yang cemar. “Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh
istrinya dan istrinya yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya”(1Korintus
7:14). Dan kenyataan ini menurut Pdt. DR Bambang Ruseno merupakan proklamasi
yang luar biasa.
Gusti Yesus sendiri, melalui aksiNya yang menyentuh langsung
orang yang terkena lepra, perempuan Samaria, perempuan yang kena pendarahan,
dan kumpulan manusia lain –yang di dalam tradisi Yudaisme diklaim sebagai
golongan cemar/najis-pada hakikatnya telah membongkar pemahaman tentang
kesucian yang semula bersifat tertutup/eksklusif menjadi terbuka/inklusif. Dan
tentunya roh dari pemahaman ini diteruskan serta digemakan ulang oleh Paulus
selaku muridNya di dalam surat-surat penggembalaan, termasuk kepada jemaat di
Korintus.
Jika dikaitkan dengan kawin beda agama, maka tatkala yang
berbeda dianggap sebagai najis, secara teologis perkawinan itu tidak selalu
bermakna bahwa yang suci akan dicemarkan oleh yang najis, sehingga harus
dilarang. Melainkan dapat bermakna sebaliknya; yang najis sangat mungkin
dipengaruhi oleh yang suci melalui kesaksian keseharian hidup yang nyata.
Sehingga tidak harus dilarang.
III. Kawin beda agama: sejak sejarah Gereja hingga Hindia
Belanda
Scisma ke II atau perpecahan gereja pada kisaran tahun 1500-1800 antara Katolik
versus Protestan sebenarnya diawali oleh perselisihan pada ranah ajaran. Yang
kemudian menjalar dan mengakibatkan pertentangan (perebutan) kekuasaan secara
politis. Perselisihan yang terjadi secara tak terelakkan pada gilirannya memunculkan
jurang pemisah.
Menurut L.M Gandhi SH (dalam: “Pelaksanaan UU Perkawinan
dalam perspektif Kristen,” BPK-GM, 1994, hlm 131) semula orang katolik
dilarang untuk kawin dengan non katolik. Dan mengingat gereja Katolik berkuasa
maka di wilayah Eropa awalnya perkawinan tunduk pada hukum dan ketentuan
gereja. Karenanya pemberlakuan hukum perkawinan bersifat kaku dan eksklusif.
Namun seiring dengan semangat reformasi yang melanda zaman itu,
pada gilirannya di Eropa timbulah protes serta gejolak pemberontakan terhadap
kekuasaan gereja. Maka pasca revolusi Perancis, akhirnya diundangkanlah Code
Civil. Dengan demikian perkawinan memperoleh babak baru; diatur sebagai perkara
sekuler, ditata dalam hukum perdata yang dibedakan serta tidak lagi berada
dalam ranah kewenangan gereja/agama. Konsekuensinya seseorang bisa saja meminta
untuk dicatatkan perkawinannya oleh Negara (legitimatio), namun tidak merasa
perlu untuk meminta pemberkatan (konfirmatio) pada pihak gereja.
Pada masa Hindia Belanda, semula dalam rangka mencegah
percampuran identitas yang disinyalir dapat meruntuhkan bangunan “kasta”yang
dibuat penguasa, maka VOC menekankan separasi/pemisahan secara ketat. Dan
ketika pada 1799 VOC menyerahkan kedaulatan ke tangan pemerintah Hindia
Belanda, kebijakan pelarangan kawin “campur” juga masih diberlakukan. Artinya,
orang Belanda dilarang keras kawin dengan pribumi/bumiputra. Orang Indonesia
Kristen juga dilarang melakukan perkawinan dengan non Kristen. Sebagai
dampaknya, banyak pasangan yang berupaya menyiasati dengan melakukan “kumpul
kebo” atau melakukan perkawinan tersembunyi.
Namun mengingat dinamika perjumpaan antar manusia yang muskil
begitu saja dapat dihalangi, pada perkembangannya seiring dengan terbitnya
kesadaran baru –terhadap keberadaan cinta yang memang tidak seharusnya
dihalangi– maka pada tahun 1848 larangan kawin beda agama pun dicabut. Lantas
pemerintah Hindia Belanda menerbitkan aturan serta hukum materiil yang
mendasari perkawinan “beda agama” yang disebut sebagai: Regeling op de Gemengde
Huwelijk disingkat GHR, Staatsblaad.1989 no 158.
Di dalam GHR pasal 7 ayat 2 terdapat klausul yang berbunyi:
“…Perbedaan agama, bangsa atau asal sama sekali bukanlah menjadi
halangan untuk perkawinan itu.”
IV. UU perkawinan No 1/1974 & implikasinya terhadap kawin
beda agama
Ketika Indonesia Merdeka pada tahun 1945, muncul semangat untuk
secara mandiri mengatur landasan bagi kehidupan bersama di bumi Indonesia, yang
didasari oleh Pancasila. Kemudian dalam prosesnya diajukan dan dibahaslah
rancangan undang-undang (RUU) perkawinan yang berdasarkan Pancasila, bersifat
Nasional, berlaku bagi seluruh warga negara serta menjamin kepastian hukum.
Semula pasal 2 ayat 1 RUU Perkawinan berbunyi:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan pegawai
pencatat
perkawinan, dicatat dalam daftar pencatat perkawinan oleh pegawai tersebut, dan
dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang ini dan atau ketentuan hukum
perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini” (Albert Hasibuan, Beberapa Pokok
Pikiran Tentang Penyelesaian masalah “perkawinan campuran, dalam Pelaksanaan
Undang-Undang Perkawinan dalam perspektif Kristen, Jakarta:BPK-GM, 1994,
hlm77-79)
Namun menurut Albert Hasibuan, pembahasan RUU tersebut mendapat
reaksi dan protes keras dari golongan yang menghendaki berlakunya hukum agama
di dalam peraturan perundangan perkawinan. Reaksi keras tidak hanya menyangkut
sahnya perkawinan, tetapi juga tentang asas monogami, perceraian, perwalian,
termasuk juga pasal (11) ayat (2) RUU yang memuat ketentuan yang memungkinkan
kawin beda agama.
Maka ketika Undang Undang Perkawinan disahkan, muncullah
ketentuan yang bersifat kompromistis. Albert mengungkapkan bahwa UU Perkawinan
no 1/1974 dikatakan kompromistis karena memberlakukan hukum agama menjadi hukum
positif, sebagai hukum Negara: pada akhirnya Pasal 2 ayat 1 UU no 1/1974
berbunyi:
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”
Jadi yang semula di dalam draft RUU, sahnya perkawinan adalah
jika dilakukan di hadapan Negara, kini sahnya perkawinan adalah ketika
dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Dan tentang kawin
beda agama dalam RUU pasal 11 ayat 2 menjadi dihilangkan (di-drop). Namun tetap
timbul kesimpangsiuran dalam menafsirkan pelaksanaannya. Terutama berkaitan
dengan kawin beda agama.
Di dalam UU No.1/1974 pasal 57 memang diatur tentang kawin
campur, dan yang dimaksud adalah:
“…perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”
Sementara untuk perkawinan “campuran” antara dua orang yang
berbeda agama sama sekali tidak diatur. Maka jelas terdapat kekosongan hukum.
Dengan demikian dapat dipahami jika alasan “ketiadaan aturan” kerapkali
digunakan sebagai justifikasi/dasar pembenar dari pihak Catatan Sipil, lembaga
agama, bahkan Gereja, guna menolak mereka yang hendak melangsungkan perkawinan
beda agama.
Namun jika dicermati di dalam ketentuan peralihan pasal 66 UU
No.1/1974, terdapat pernyataan yang berbunyi:
” untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya
Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74), Peraturan Perkawinan
Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken S.1898 No.158), dan peraturan peraturan
lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang
ini, dinyatakan tidak berlaku.”
Sehingga menurut Albert Hasibuan, dengan mendasarkan diri pada
penafsiran “a-contratio” atau tafsir yang membandingkan perbedaan dan melihat
sisi sebaliknya, maka kalimat “sejauh telah diatur”, sejatinya dapat berarti
bahwa Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling Op De Gemengde Huwelijken S. 1898
No 158, yang disingkat GHR) masih tetap berlaku, dan dapat digunakan, mengingat
bahwa aturan tentang kawin beda agama memang belum ada dan belum diatur di
dalam UU no1/1974.
V. Konsekuensi eklesiologis
Pasal 66 di atas pada gilirannya mendasari terbitnya akta
KETETAPAN SIDANG MPL-PGI NOMOR 01/MPL-PGI/1989 Mengenai Pemahaman Gereja-Gereja
di Indonesia tentang Sahnya Perkawinan dan Perkawinan Bagi Warga Negara Yang
Berbeda Agama. Ketetapan yang dirumuskan dalam persidangan Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI) di Wisma Kinasih, Caringin, Bogor pada 29
April 1989, juga menetapkan konsekuensi eklesiologis; bahwa gereja
dapat memberkati perkawinan beda agama.
Lantas bagaimana dengan Greja Kristen Jawi Wetan ?
Sebagai dasar kiprah dan gerak langkah gereja, maka tersebutlah Tata dan
Pranata GKJW terbitan Majelis Agung tahun 1996. Di dalam bagian pranata tentang
perkawinan memang sama sekali tidak terakomodasi pergumulan yang terkait dengan
kawin beda agama. Dalam Bab IV.Hal Khusus, pasal 16 bahkan sayup-sayup
terdengar gema paradigma eksklusivisme, ketika diungkapkan bahwa:
“apabila ada suami-istri yang salah satunya masuk Kristen,
perkawinannya belum dapat disahkan secara gerejawi”
Dengan demikian yang perkawinannya dianggap sah secara gerejawi
hanyalah mereka yang sama-sama menganut agama Kristen. Jika hanya salah seorang
yang menganut agama Kristen maka tidak sah. Sementara secara biblical sejatinya
jelas bertolak belakang dengan semangat pemahaman 1 Korintus 7:14 yang bercorak
inklusif.
Faktanya, GKJW memang menghadapi pergumulan mengenai kawin beda
agama. Bahkan secara strategis GKJW pernah berkorespondensi langsung dengan
Dirjen BIMAS Kristen Departemen Agama RI, menyoal kawin beda agama, yang
kemudian dibalas per tanggal 29 September 1976.
Di dalam isi surat balasan, dikemukakan persetujuan BIMAS Kristen Depag RI
tentang kesimpulan dan penjelasan GKJW terkait pasal 66 UU No.1/1974 yaitu:
a. Hal-hal yang sudah diatur dalam UU No 1/1974, maka peraturan
yang sudah ada sebelumnya tidak berlaku, sebab yang berlaku adalah peraturan
yang sekarang.
b. Mengenai hal-hal yang belum diatur di dalam UU1/1974, maka
peraturan yang sudah ada sebelumnya dapat dipakai untuk menyelesaikan
masalah-masalah ini, dengan demikian pasal (75) dari HOCI masih berlaku.
Hanya saja, kala itu yang digunakan GKJW sebagai dasar hukum
argumentasi kawin beda agama bukanlah GHR melainkan HOCI/Huwelijk Ordonatie
Christen Indonesier, pasal 75, yang juga mengatur ketentuan tentang kawin beda
agama.
Dengan demikian di satu sisi, secara tekstual, dengan
mendasarkan pada Tata-Pranata tahun 1996, GKJW terlihat menganut paham
eksklusivisme. Menutup diri terhadap kemungkinan kawin beda agama. Berkat
perkawinan dipahami hanya secara eksklusif diperuntukkan kepada sesama umat
tebusan. Karenanya bagi suami-istri yang salah satunya masuk Kristen,
perkawinannya belum dapat disahkan oleh gereja.
Padahal secara hakiki, gereja bukanlah Kristus.Gereja bukanlah sumber berkat,
melainkan hanyalah sekadar sarana guna mengejawantahkan berkat yang bersumber
dari Tuhan sendiri.
Di sisi lain, secara factual, GKJW di dalam praksisnya
sebenarnya nampak tidak begitu saja menutup mata terhadap dinamika konteks yang
membutuhkan perhatian dan pelayanan nyata. Buktinya, ketika terdapat pergumulan
terkait keberadaan warga yang hendak kawin beda agama, GKJW tidak tinggal diam.
Ada upaya untuk melayani dan merengkuh. Dan komitmen pelayanan tersebut
setidaknya terlihat dengan keberadaan “surat advokasi/pembelaan” kiriman PHMA
kepada BIMAS Kristen Depag RI pada tahun 1976 yang berisi saran dan meminta
persetujuan bagi penggunaan dasar hukum HOCI pasal 75, guna mendukung
terlaksananya kawin beda agama secara konstitusional.
Jadi, dengan mengingat bahwa Tuhan itu baik bagi semua orang dan
penuh rahmat terhadap yang dijadikanNya (Maz 145:9), serta dengan memperhatikan
tema Program Kegiatan Pembangunan (PKP) GKJW yang selama ini selalu
berorientasi pada upaya untuk menjadi rahmat bagi sesama dan dunia, maka GKJW perlu
menegaskan sikapnya bahwa pada prinsipnya Greja Kristen Jawi Wetan
mengakui dan menghargai perkawinan beda agama.
Ketika prinsip ini diamini, artinya GKJW berani menegaskan bahwa
agama sebagai hasil konstruksi manusia tidak seharusnya digunakan untuk menegasikan/meniadakan
cinta sebagai sesuatu yang ultimate dan sacral.
Sehingga konsekuensinya, tatanan/pranata yang tertulis pun harus
direvisi guna menyelaraskan dengan prinsip yang digenggam. Konsekuensi
berikutnya, jika terdapat pasangan yang hendak meminta pemberkatan kawin beda
agama, maka Majelis Jemaat tidak diperkenankan untuk menolak dan harus tetap
melayaninya. Termasuk juga turut mendampingi prosesnya untuk ke Catatan Sipil,
atau ke Pengadilan Negeri, guna mendapat yurisprudensi yang bisa digunakan
sebagai dasar pencatatan sipil.
VI. Beberapa keberatan dan kesulitan teknis.
Walaupun demikian bukan berarti kawin beda agama tidak menemui hambatan. Saya
mencatat beberapa keberatan yang muncul, salah satunya yang dilontarkan oleh
sobat Andri Purnawan:
“Ketidaksamaan standar moral etis dalam sebuah keluarga bisa
saja terjadi. Dan sangat mungkin menjadi awal dari sebuah bencana besar dalam
hidup berkeluarga, terutama jika keluarga itu berhadapan dengan problem rumah
tangga. Misalnya : yang satu mengharamkan perceraian, sementara yang lain
mengatakan boleh. Yang satu memegang erat asas monogami, yang lain mengatakan
boleh poligami asal adil, dan masih banyak masalah yang lain, termasuk
menyangkut makanan perihal halal/haram, ada tidaknya meja pemujaan di rumah,
dsb. Ada lagi satu pertanyaan prinsip. Siapakah yang menjadi kepala rumah
tangga? Tentu bukan lagi Kristus. Dampaknya keluarga tersebut bisa jadi tidak
akan dapat memainkan peran dalam menjawab tugas kerasulan untuk menjadi garam
dan bercahaya bagi Kristus. Jika dipaksakan untuk terus berjalan sendiri? Bisa!
Tapi sehatkah keluarga yang demikian?”
Argumentasi di atas memang benar. Itu sangat mungkin terjadi.
Namun yang pertama, bahaya perpecahan dan ketidakmampuan untuk mentolerir
perbedaan/ketidaksamaan standar moral, sejatinya tidak hanya melulu menjadi
resiko yang harus dihadapi oleh mereka yang melangsungkan kawin beda agama
saja, melainkan menjadi resiko dan bahaya yang harus diantisipasi secara bijak
oleh setiap semua pasangan yang membangun rumah tangga-apapun agamanya. Memang
diperlukan pengelolaan dan kebijaksanaan bagi mereka yang melakoni kawin beda
agama, namun bukan berarti dapat diklaim begitu saja, bahwa seolah-olah mereka
yang kawin beda agama jauh lebih rentan untuk mengalami bencana besar jika
dibandingkan dengan mereka yang kawin seagama.
Apakah sebilah pisau yang mempunyai faktor resiko dapat melukai
tangan dan potensial digunakan sebagai alat pembunuhan harus dilarang
keberadaannya? Tidak begitu bukan?!. Walaupun mengandung resiko, namun tidak
berarti bahwa keberadaan pisau harus sama sekali dilarang peredarannya.
Maka demikian pula dengan kawin beda agama. Keberadaan resiko
dalam perkawinan dua orang yang berbeda agama, tidak dapat dibawa begitu saja
pada kesimpulan untuk menegasikan/melarang kawin beda agama.
Bahwa kemudian dipandang perlu untuk memberikan touchstone yang
mendeskripsikan secara rinci faktor resiko dalam kawin beda agama, maka ini
menjadi kewajiban Gereja guna memaparkan dan mendampingi dalam proses
katekisasi khusus.
Yang kedua, terkait dengan asumsi triumphalistis, yang mengklaim
bahwa keluarga beda agama tidak akan mampu menjawab tugas kerasulan untuk
menjadi garam dan terang. Asumsi tersebut menurut saya dibuat melalui kacamata
eksklusif, dengan penekanan bahwa hanya yang sewarna-lah yang dapat
mewujudnyatakan misi. Yang berbeda warna tidak.
Maka sebaliknya, adakah jaminan bahwa yang sewarna/keluarga
kristen dapat secara tuntas mewujudnyatakan garam dan terang, serta
memberlakukan Misio Dei secara tuntas dan total?
Jika menjadi garam dan terang sejatinya terkait dengan perilaku keseharian,
yang diwujudkan melalui ujaran, pikiran dan tindakan yang dilingkupi kasih,
maka tidakkah mungkin bagi keluarga yang berbeda agama untuk menghadirkan
harmoni dan kedamaian melalui kisah hidup keseharian mereka?
Saya pikir kemungkinan itu senantiasa terbuka lebar. Dan ketika
taruhlah sesuatu yang baik, yang indah, yang sedap didengar, yang dilandasi
oleh kasih serta kebenaran hadir dan muncul sebagai buah hidup dari keluarga
beda agama, maka bukankah sejatinya hal tersebut juga merupakan upaya
pemberlakuan kehendak Allah?
Di dalam Yohanes 14:15 Gusti Yesus berujar, “Jikalau kamu
mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu.” dan dalam Yoh 15:17 Gusti
Yesus mengungkapkan bahwa: “Inilah perintahKu kepadamu: Kasihilah seorang akan
yang lain.”
Maka ketika keluarga beda agama memberlakukan kasih secara
nyata, tidakkah mereka dapat disebut sebagai keluarga yang menuruti perintah
Tuhan dan membiarkan nilai-nilai Kristus untuk mengepalai serta menutun rumah
tangga mereka?
Yang artinya secara tidak langsung juga dapat disebut sebagai
keluarga yang dikepalai oleh Kristus sendiri bukan?!
Kesulitan teknis
Beberapa pertanyaan terkait dengan kesulitan teknis.
§ Bagaimana dengan
formulir N1-N5 yang dibuat dengan asumsi sama agama?
§ Bagaimana pula
dengan KTP yang disyaratkan oleh catatan sipil harus seagama?
Mengingat kawin beda agama merupakan kasus khusus, maka formulir
N1-N5 diisi sesuai prosedur, dan sertakan juga KTP secara apa adanya. Agama tak
perlu direkayasa untuk disamakan. Ketika catatan sipil tidak bersedia menerima
pengajuan kawin beda agama dan tetap menolak walaupun telah disodorkan
argumentasi dengan mendasarkan pada ketentuan peralihan UU No 1/1974 pasal 66,
yang memungkinkan berlakunya HGR/HOCI, maka artinya greja harus memiliki
kebijaksanaan khusus.
Dasar bagi kebijaksanaan khusus adalah UU No 1/74 pasal 2 ayat 1, yang
menyebutkan bahwa “perkawinan sah menurut hukum masing-masing agama.”
Maka dengan demikian, majelis jemaat memiliki kewenangan untuk mengesahkan
kawin beda agama dan membuat Surat Tanda Pengesahan Kawin Beda Agama/SuTaPKaBA
(sehingga memenuhi kaidah “sesuai hukum masing-masing agama”). Setelah itu
SuTaPKaBA diberikan pada catatan sipil untuk dicatatkan. Namun jika pihak
Catatan Sipil masih menolak, dan tidak bersedia menerima, maka dengan dasar
surat penolakan tersebut, dimintakan yurisprudensi ke Pengadilan Negeri supaya
diterbitkan surat perintah pencatatan.
§ Bagaimana jika ada
yang hendak melangsungkan kawin beda agama, namun tidak bersedia diberkati di
gereja?
Maka -sebagaimana dituturkan oleh Pdt. Sumardiyono– mekanismenya
dapat diatur melalui persidangan Majelis Jemaat khusus yang agenda tunggalnya
adalah mengesahkan perkawinan beda agama. Di dalamnya tidak ada berkat. Hanya
doa.
§ Bagaimana jika ada
yang bersedia diberkati di gereja, namun dengan tetap meminta pengakuan dan penghargaan
atas perbedaan keyakinan yang dianutnya?
Mengapa tidak. Artinya, gereja dapat menghadirkan pemuka agama
sesuai dengan agama yang dianut oleh salah seorang mempelai. Sebagaimana yang
diberlakukan di GKJ Salatiga, pemberkatan perkawinan dapat dilakukan oleh
pendeta dan kiai, secara bersamaan sekaligus, dengan menggunakan liturgi
khusus.
Dibalik kesemuanya ini, segala sesuatu yang teknis pada
hakikatnya hanya mengikuti dari hal-hal yang bersifat prinsip. Maka ketika
secara prinsip gereja memutuskan untuk mengubah dirinya dari paradigma iman
eksklusif/tertutup ke paradigma iman yang inklusif/terbuka, maka yang teknis
dapat ditata dengan mendasarkan diri pada hal-hal yang prinsip. Akhirnya,
perkawinan beda agama pada konteks tertentu, jika memang harus terjadi…mengapa
tidak.***
Bahan rujukan:
- UU Perkawinan No.1 tahun 1974.
- Pdt. Andri Purnawan, Nikah Beda Agama, Mungkinkah?, di posting pada
www.gkjwcaruban.org/….
- Weinata Sairin, J.M Pattiasina, ed., Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan
dalam Perspektif Kristen, himpunan telaah tentang perkawinan di lingkungan:
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, BPK-GM, 1994.
-Tata dan Pranata Greja Kristen Jawi Wetan, Majelis Agung GKJW, 1996