Proses
dauran Penatua dan Diaken telah usai. Apapun yang terjadi dengan mekanisme
proses pemilihan, kini Majelis Jemaat Daur 2013-2015 telah terpilih. Suka atau
tidak kita harus menerimanya dengan legawa. Tentunya para pemilih bukan hanya
sekedar menginginkan adanya “penyegaran” tetapi lebih jauh tentu adanya harapan
munculnya gagasan baru dan paradigma baru dalam pengembangan pelayanan di
Jemaat setempat bahkan se GKJW. Memang tidak semua sosok penatua dan diaken
terpilih sesuai dengan harapan semua warga Jemaat, bahkan Penatua dan Diaken
yang kurang bisa diterima di kelompok, blok ataupun wilayah sendiri bisa jadi
dapat diterima (dipilih) oleh kelompok, blok ataupun wilayah lain atau
sebaliknya. Dari hasil proses dauran ini pula warga juga menggantungkan harapan
adanya perubahan yang lebih baik, di Jemaat, di daerah maupun di GKJW melalui
anggota MJ, MD dan MA yang juga akan dipilih dari majelis daur baru ini.
GKJW sebagai gereja gerakan warga
maka tentunya warga benar-benar harus menjadi subyek. Warga perlu digerakkan
secara aktif dalam kegiatan gerejawi, warga perlu dimotivasi dan diajak untuk
memahami dan meningkatkan kualitas hidup berjemaat. Warga berhak dan harus
diajak untuk mampu mengkritisi kebijakan, keputusan dan pengelolaan harta
kekayaan gereja maupun perilaku dan kinerja majelis dengan tidak meninggalkan
kaidah dan etika kristiani. Dalam era keterbukaan saat ini kran kegiatan
sharing perlu dibuka lebar-lebar khususnya dalam kegiatan gerejawi seperti
rembug warga bahkan dalam setiap kegiatan ibadah keluarga yang semua itu
mengarah pada optimalisasi pelayanan sehingga gereja menjadi semakin bertumbuh.
Pertumbuhan gereja bukan hanya pada pertumbuhan fisik gereja, pertambahan
anggaran ataupun pertambahan kuantitas dan kualitas warga untuk mencapai kemandirian
di bidang daya dan dana saja, tetapi yang lebih penting lagi adalah pertumbuhan
dan pengembangan iman warga untuk menuju kemandirian teologi. Warga hendaknya
tidak menjadi obyek “sumber dana” tetapi warga harus menjadi subyek yang
memahami arti “mempersembahkan” dan memahami penggunaan “persembahan” sebagai
salah satu sumber pendanaan kegiatan gereja. Pada dasarnya pandangan warga
terhadap pendanaan kegiatan gereja menunjukkan bahwa mayoritas warga sangat
tidak keberatan bila harus mempersembahkan dana untuk kegiatan gereja, asal
jelas penggunaannya, dan jelas pertanggungjawaban keuangannya.
Salah satu prasarat dasar kemampuan
Penatua dan Diaken terpilih yang tidak boleh terlupakan adalah pemahaman
terhadap Tata dan Pranata GKJW. Salah satu titik lemah pembahasan dalam
rapat/persidangan selama ini adalah kurang dipahaminya Tata dan Pranata GKJW
ini secara utuh oleh sebagian besar anggota majelis sebagai peserta rapat/sidang.
Umumnya buku Tata & Pranata dibuka hanya jika menghadapi masalah atau untuk
membahas suatu topik tertentu saja. Terlebih bagi warga gereja yang sebagian
besar sama sekali tidak memahami dan bahkan ada yang tidak tahu wujud bukunya.
Sangat ironis dan telah terjadi ketimpangan dalam pemahaman yang berakibat
kurangnya control warga/majelis terhadap kebijakan gereja dan keputusan
rapat/sidang.
Penatua & Diaken sebagai salah
satu pengemban jabatan gerejawi sering harus menerima kritikan tajam baik yang
bersifat membangun ataupun yang hanya ungkapan negative saja. Hal ini harus
diterima dengan legawa dan dapat ditangkap sisi positifnya. Memang tidak
sedikit majelis yang belum mampu menerima kenyataan ini. Dalam Pranata tentang
Majelis Bab I Pasal 3 ayat (d) ada tertulis “…………….. bersedia setiap kali
mempertimbangkan kembali pelaksanaan tugasnya ………..”. Kelegawaan, keterbukaan
dan ketulusan menerima penilaian (evaluasi) merupakan bagian dari proses
pendewasaan diri dan pembelajaran Penatua & Diaken baru yang terpilih.
Penatua & Diaken yang baru terpilih diharapkan mau dan mampu mengembangkan
dan meningkatkan kualitas diri dalam pelayanan, menangkap fenomena yang terjadi
di masyarakat dan gereja, mengadakan pembaharuan di tubuh gereja dan
menggerakkan warga untuk berperan aktif dalam berjemaat. Fungsi Penatua &
Diaken sebagai motivator dan fasilitator diharapkan lebih dikembangkan dari
pada fungsi sebagai otorisator dan administrator. Sebagai seorang Penatua &
Diaken baru yang terpilih diharapkan lebih memiliki how to say yang baik kepada
orang lain terlebih kepada warga jemaat dan memahami etika kristiani yang
“njawani”, artinya sesuai dengan kultur budaya Jawa yang masih kuat berkembang
hingga saat ini . Bagi seorang majelis baru yang mengemban fungsi sebagai Penatua
hendaknya lebih memiliki sense atau kepekaan dalam menangkap fenomena
pergumulan iman warga, segera berusaha mencari solusi teologisnya dengan
mengembangkan/menajamkan materi khotbah, model PA, kualitas dan kuantitas
kesaksian. Demikian juga bagi yang mengemban fungsi sebagai Diaken hendaknya
juga lebih memiliki kepekaan dalam menangkap kondisi social dan ekonomi warga,
segera mencari pula solusinya serta berusaha keras meningkatkan pelayanan yang
lebih transformatif dan perkunjungan yang lebih intens serta “bermakna”.
Falsafah dari Ki Hajar Dewantara :
“Ing ngarso sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” tampaknya
sangat relevan jika juga diterapkan dalam dunia pelayanan seorang Penatua &
Diaken. Ing ngarso sung tulada, diharapkan seorang Penatua & Diaken mampu
menjadi panutan moral dalam kehidupan social, bermasyarakat dan berjemaat serta
menjadi pengarah dan ujung tombak pelayanan gerejawi. Ing madya mangun karsa,
diharapkan seorang Penatua & Diaken mampu berinteraksi, berkomunikasi dan
bekerjasama dengan baik dengan warga jemaat atas dasar kasih dan kesetaraan
sebagai sesama warga jemaat dan mampu menjadi penggerak (motor) bagi warga
jemaat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan gerejawi. Tut wuri handayani,
diharapkan seorang Penatua & Diaken mampu melakukan tugas pendampingan
warga dengan memberikan pelayanan, penghiburan dan penguatan serta mampu
menjadi pendorong (motivator) . Akhirnya sebuah keberhasilan seorang Penatua
& Diaken dalam pelayanannya ditentukan oleh cara laku, cara ucap, cara
pandang, cara bincang, cara tanggap dan cara sikap dari Penatua & Diaken
tersebut dengan tidak meninggalkan kaidah-kaidah gerejawi serta memiliki hati
yang bersih dan visi yang jernih untuk melayani Tuhan. (Oleh Thomas S - Mantan Komperlitbang Jemaat Malang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar