Pada hari Sabtu tanggal 21 April 2012, di GKJW
Jemaat Malang mulai pukul 16.00 WIB dilaksanakan kegiatan Seminar Misi Budaya
dengan penyelenggara Komisi Pembinaan Telogia yang dihadiri tidak kurang dari
120 peserta dari GKJW se MD Malang I, sebagian GKJW MD Malang II dan III (23
Jemaat) serta beberapa warga non GKJW (GKI dan Katholik). Acara dibuka dengan
Doa yang dipimpin oleh GI Eva Tulak P. Acara ini dibuka oleh Pdt Puspo Gardjito
mewakili Majelis Jemaat GKJW Jemaat Malang. Beliau dalam sambutannya
menyampaikan selamat datang dan terima kasih atas peran serta peserta yang
telah datang menghadiri seminar tersebut diatas. Dan Pdt Puspo juga
menyampaikan semoga dengan acara ini dapat diambil manfaatnya dan dapat
dipergunakan bekal dan tambahan ilmu didalam pelayanan di Gereja maupun
ditengah-tengah masyarakat.
Pada acara ini menampilkan 2 (DUA) pembicara yaitu
Pdt Sukotiyarno Christin dan Budayawan KP Sena Adiningrat. Untuk pemandu acara
ini adalah Astiko S. Akas SE, MM.
Pdt. Sukotiyarno mengawali dengan sedikit mengupas Buku “Yesus Budayawan
Sejati” yang ditulis MA GKJW dalam rangka HUT GKJW ke 80. Sebagai pendahuluan
beliau menyampaikan bahwa agama lahir dan berkembang dalam iklim dan budaya
tertentu. Hal ini menimbulkan tantangan dalam perkembangan sebuah agama. Yang pertama
adalah bagaimana agama bisa beradaptasi dengan budaya setempat yang masalahnya
biasanya agama dibawa dari daerah tertentu beserta budayanya sehingga
mengabaikan budaya local. Yang kedua
tantangannya adalah ketika agama itu ada, pengikutnya berusaha memilah milah unsure
budaya dan yang ilahi sehingga mempengaruhi budaya local yang sudah ada. Pada
budaya awal kekristenan terdapat 4 iklim yang perubahannya cepat dan radikal. Diawal
kekritenan juga berkembang didaerah gurun yang keras dan sulit sehingga muncul
individulisme. Dan pada awal kekristenan juga kepada siapa saja yang berbeda
dianggap mungsuh. Hal ini berbanding terbalik ketika kita melihat dan merasakan
budaya Jawa yang dipengaruhi 2 iklim yang berubah secara perlahan lahan
sehingga muncul salah satunya istilah alon
alon waton kelakon. Di Nusantara dan jawa khusunya alamnya subur dan
melimpah sumber pangan sehingga munculah gotong royong. Dan yang paling
mencolok adalah yang berbedapun diterima seperti sadulur (harmoni dengan semua ciptaan).
Tetapi apa yang terjadi saat ini, Pdt Suko
menyatakan bahwa gotong royong sudah mulai menipis dan persaingan semakin kuat,
pasaduluran tergerus, fanatisme meningkat, sikap memusuhi mudah tersulut, industrialisasi
mengikis keharmonisan.
Menghadapi hal seperti ini menjadi tantang GKJW
untuk selalu lembut melawan radikalisme, memberlakukan Injil sesuai dengan
budaya Jawa dan meningkatkan pasaduluran dengan kepedulian social.
Bagaimana dengan Bahasa Jawa ?, Pdt Suko
menuturkan bahwa Bahasa di Injil ditulis dalam bahasa yang dibutuhkan umat (Kis 2:4-12). Bahasa
merupakan salahsatu identitas kita. Dalam pelayanan, penggunaan bahasa juga
perlu kebijaksaaan kita, perlu atau tidak penggunaannya adalah sebuah
kebutuhan. Kalau didalam umat tersebut memerlukan Bahasa Jawa sebagai
perngantar, maka kita perlu menyampaikan dalam Bahasa Jawa, begitu pula
sebaliknya. Beliau juga menyampaikan perlunya kita melestarikan budaya Jawa
mengingat sudah ada bangsa lain yang ikut melestarikan.
KP. Sena Adiningrat pada sesi kedua juga
menyampaikan setuju kalau Budaya Jawa terus dilestarikan karena itu merupakan
identitas suatu daerah/ Budaya Lokal. Dengan melestarikan budaya local kita
juga bias mempererat tali persaudaraan dengan umat lain. Memang bahwa budaya
kita juga dipengaruhi oleh budaya lain, hal ini bias terjadi karena banyak interaksi
antar budaya yang terjadi. Kekritenan di Indonesia banyak diengaruhi Budaya
pembawa ajaran Kristen pertama kali yakni Belanda. Perlu diketahui bersama
bahwa Kekristenan tidak pernah lepas dari Budaya Timur Tengah sebagai awal
lagirnya kekristenan. Karena Kristen
Jawa dipengaruhi oleh Belanda sehingga apapun yang tidak kebelanda belanaan dilarang
pada awal perkembangan Kristen di Bumi Nusantara khusunya Jawa. Banyak ajaran
Kristen Jawa yang disampaikan dalam pengajarannya oleh Kyai Tungul Wulung dan
Kyai Sadrah banyak ditentang. Tetapi bagi saat ini ajaran kedua Beliau sangat
diperlukan, mengingat dengan Budaya Lokal kita bisa menyatu dengan masyarakat local.
Pada akhirnya KP Sena Adiningrat mengingatkan bahwa GKJW Adalah Gereja Gerakan
Warga, dalam konteks budaya, maka setiap warga GKJW berkewajiban melestarikan
Budaya Jawa di tengah tengah masyarakat. (CYP)